Six Feet Under

rain
16 min readNov 12, 2023

--

Malam begitu senyap. Suara jangkrik yang berderik di halaman menembus masuk tembok kamar. Menemani Judith yang masih betah memandangi wajah Natachai yang tertidur dengan damai. Suntikan epinefrin yang diberikan tabib telah membuatnya lelap. Judith mengusap lembut beberapa ruam yang tertinggal pada lengan Natachai. Ia mengoleskan salep di atas bercak-bercak merah tersebut. Dinginnya krim itu lantas membuat tidur Daniel terusik.

Dahi Natachai mengernyit. Kelopak matanya bergerak membuat olesan Judith berhenti. Daniel melihat sosok Judith begitu ia membuka mata, ia sedikit bangkit hendak duduk namun gerakan itu dihentikan oleh Judith.

“Tidur saja dulu.” ia kembali berbaring. Ternggorokannya terasa kering, Daniel berdeham sehingga Judith menyodorkan segelas air untuk ia minum.

“Terimakasih.”

Keheningan menjeda keduanya. Benak Daniel penuh dengan tanya mengapa, namun itu tak mampu ia utarakan. Bagaimana, kenapa, apa yang baru saja terjadi, Daniel tidak tahu kalimat apa yang mampu mewakili rasa ingin tahu tanpa membuatnya terkesan aneh.

Haruskah ia merasa bangga karena Judith telah menolongnya di saat ia bahkan tidak tahu jenis makanan apa yang dapat membuat ia celaka? Atau, haruskah ia merasa aneh mengapa tiba-tiba Judith bisa mengetahui hal yang sebegitu personal?

“Aku tidak tahu kalau aku punya alergi.” Daniel akhirnya berujar memecah keheningan. “Jadi apa itu? Kayu manis? Bagaimana kau mengetahuinya?”

Judith terduduk di pinggiran kasur, jarinya memainkan selimut beludru. “Aku kenal beberapa orang yang memiliki alergi pada kayu manis. Aku lihat matamu memerah setelah memakannya.”

Daniel mengangguk, akhirnya mengerti. “Sepertinya itu alasan kenapa aku jadi sangat membenci Nile.”

Lelaki berkulit tan di hadapannya tak menggubris. Daniel mejadi leluasa mendesak, “Aku mual setiap kali aku mencium feromon tubuhnya terlebih itu sudah tercampur dengan milikmu.”

Judith menyeka ujung bibir Daniel yang basah dengan ibu jarinya. Ia menatap Daniel dengan dalam, “Apa ada sesuatu yang bisa membuat kesalmu mereda?” ia bertanya.

Mendengar itu, Daniel terdiam. Ia tidak tahu. Itu bukan sesuatu yang bisa dirubah hanya karena ia marah dan tidak terima.

“Kau menyebalkan!” Daniel akhirnya memalingkan muka. Berbalik hingga memunggungi Judith.

“Aku tahu.”

“Aku membencimu.” susulnya semakin kesal saat Judith mengiyakan perkataannya tanpa perlawanan.

“Hmm.” Judith berdeham, kembali mengiyakan.

“Semoga bulu hidungmu tumbuh lebat!”

“Hmm.”

Daniel mendelik tajam, melihat Judith yang terkekeh menahan tawa. Bibir semerah delima miliknya maju beberapa senti, kesal.

“Semoga gigimu kuning dan napasmu bau!”

Judith sedikit tergelak, matanya tinggal segaris karena tersenyum lebar. Ia mengangguk mengiyakan, dan itu membuat kekesalan Daniel memuncak karena sumpah Demi Tuhan, senyum itu begitu menawan.

“Napasmu akan bau dan saat kalian berciuman, Nile akan pingsan!”

Daniel menyisakan ruang saat ia membalikkan badan, dan ruang itu lantas diisi oleh Judith yang ikut berbaring. Lengan Judith mengusak rambut Daniel lembut.

“Kalau begitu aku akan gosok gigi. Aku juga tidak akan mencium Nile.” Kekehan terdengar di ujung kalimat. Daniel mengangguk cepat menyetujui ucapan Judith.

Embusan napas Judith terasa hangat menerpa tengkuk Daniel. Keduanya diam sejenak, bergulat dengan benak diselimuti keheningan malam.

“Aku menemukan buku tentang diriku.” Ucapan Daniel menyita atensi Judith, ia mendengarkan seksama.

“Judith, ternyata, jika kita memiliki anak, anak itu akan tumbuh menjadi luar biasa.”

Judith berdeham pelan, “Hmm.”

“Katanya pure omega itu kesayangan dewa. Mereka dilimpahi banyak keistimewaan, tapi … entah bagaimana setelah membaca habis seluruhnya aku hanya berpikir bahwa pure omega hanyalah alat. Aku adalah alat pewujud bagi mereka yang menginginkan keuntungan maksimal untuk sebagian golongan. Judith, mengapa di antara keistimewaan-keistimewaan itu, semuanya diperuntukkan untuk orang lain bukan diriku sendiri?”

“Aku benci teratai.”

Judith tahu itu.

“Aku juga tidak suka aroma vanilla.”

Judith juga tahu yang itu.

Daniel berbalik menghadap Judith. Keduanya bersitatap. Manik cokelat gelap milik Judith memaku obsidian Daniel yang lebih terang.

“Aku ingin tanda mawar yang cantik seperti milik Nile. Atau bunga-bunga kecil berwarna biru seperti punya Phuwin juga tidak masalah.” Ia menunjuk pergelangan tangan bagian bawah, menunjukkan guratan bunga teratai berwarna putih yang polos.

“Judith, apakah kau juga melihatku sebagai alat?”

Daniel menggeleng, mengambil kesimpulan sepihak sebelum mendengar jawaban Judith. “Sepertinya tidak.”

Ia terlalu takut.

“Kau pasti tidak akan memperjuangkan cintamu pada Nile sebegininya jika ingin ikut memanfaatkanku, bukan? Ah aku akan berpikir seperti itu.”

Judith mengangguk. Tak apa, jika Daniel ingin berpikir demikian.

“Aku sekarang mengerti kenapa kau begitu bersikeras ingin bersama Nile. Aku tahu dia orang baik dan kalian hanya berusaha mempertahankan apa yang sebelumnya kalian miliki, tapi untuk saat ini, aku belum bisa untuk tidak membencinya karena bagaimana pun aku benci saat milikku direbut orang lain. Kau tunggu, ya. Tunggu sampai urusan kita selesai, maka aku akan merestui hubungan kalian.” Tatapan Daniel sedikit bergetar, dan getaran yang kecil itu terlihat jelas dalam tangkapan iris Judith.

“Jadi, apa kau menemukan yang ingin kau cari?” akhirnya lelaki maret itu berucap. Memotong monolog Daniel di hadapannya.

“Tidak. Buku itu kurang lengkap. Aku tidak menemukan bagaimana cara agar ikatan kita terlepas.”

Telapak tangan Judith yang besar menangkup pipinya. Ia mengelus perlahan, “Sudah malam. Cari lagi besok-besok.”

Usapan yang lembut itu membuai Daniel hingga kantuk kembali datang. Ia menguap, pandangannya mengabur. Wajah tampan Judith jadi semakin samar sebelum akhirnya netra tajam bertirai bulu mata yang lebat itu terpejam.

“Selamat malam. Mimpi yang indah.”

Undangan itu datang. Segulung kertas berisi ajakan pertemuan dengan seluruh Elder di berbagai prefektur telah sampai di tangan Daniel. Ia menjadi takut. Ini bukanlah pertemuan biasa untuk Natachai. Ajakan pesta itu bagaikan undangan untuk menjemput ajal dengan cara yang berbeda.

“Bolehkah aku tidak datang?” gumamnya dan itu terdengar oleh Luke yang berdiri hanya beberapa meter dari tempat ia duduk.

“Kau mau membiarkan King Judith kesana sendiri?”Memangnya kenapa? Ini tidak seperti dia akan dalam bahaya jika pergi tanpaku.”

“Kau itu harga diri seorang Elder. Membiarkan Judith pergi tanpamu ke tengah pesta sama dengan melucuti kehormatannya. Itu seperti kau membiarkan orang-orang meneriakinya sebagai duda di depan Elder lain.”

“Tapi aku takut.” Jika Natachai pergi, Judith akan mejadi duda sungguhan.

“Apa yang kau takutkan? Aku, Pond, bahkan Giusseppe ikut.”

Natachai memang tidak sampai terbunuh di pesta. Tapi, setelah mengalami beberapa kali hampir mati, Daniel menjadi takut. Terjatuh dari jurang, tenggelam, maupun sesak yang mencekik, semuanya sama menyiksa. Kematian itu menyakitkan, dengan cara apa pun.

Daniel tidak tahu, racun yang akan ditenggak Natachai di pesta nanti akan terasa seperti neraka bagian yang mana.

“Aku akan melindungimu.” Luke meremat pundaknya tiba-tiba. Pria bongsor itu sudah berada di hadapannya. “Tolong jaga kehormatan prefektur kami.”

Daniel takut pada kematian. Namun, untuk mematahkan harap orang yang menaruh percaya padanya, Daniel juga takut.

Daniel menyentuh beberapa dedaunan obat kering yang tabib Gunhang jemur. Pria yang masih tergolong muda untuk jadi seorang tabib itu tersenyum saat mendapati si menantu rumah elder berkunjung, dan kini pria itu malah mengekorinya kemana pun ia pergi.

“Anda sudah baikan?” ia bertanya pada akhirnya.

Daniel mengangguk, “Terimakasih untuk pengobatanmu.”

“Sudah tugas saya. Terimakasih juga untuk bingkisannya. Saya rasa itu terlalu banyak.”

“Tidak juga. Ibu membuatnya khusus untuk tabib.”

“Kalau begitu, terimakasih.” Gunhang kembali menata herbal dalam tampah, “Luka di punggung anda, sudah baikan juga?”

“Hah?” Daniel terkejut. “B-bagaimana Anda tahu?”

“Tuan Judith meminta salep luka padaku.”

“A-ah itu … sepertinya untuk dirinya sendiri.”

“Jadi kalian sama-sama terluka?”

Daniel termangu di tempat. Ah salah, seharusnya dia mengiyakan saja barusan.

“M-maksudku — ”

“Saya rasa itu untuk anda. Luka di punggung Tuan Judith belum mengering sepenuhnya sampai sekarang. Saya kadang melihat nanah masih sedikit merembes di bajunya. Anda tahu, membutuhkan waktu minimal tiga bulan sampai luka dari cambuk Moon Goddess mengering.”

“Anda juga tahu itu?” Daniel menjadi gugup hingga melewatkan perkataan awal pemberi informasi di hadapannya.

“Saya mengandalkan insting saya sebagai tabib, dan sepertinya tebakanku benar, ya?” Gunhang terkekeh melihat ekspresi Daniel yang ketakutan. “Tenang saja, saya tahu tempat. Saya akan tutup mulut.”

Mendengar itu membuat Daniel menghela napas lega, seketika ia sadar akan ucapan Gunhang. Ia ingin diam menutup topik soal luka cambuknya tapi sebersit tanya di benak harus mendapat jawaban saat itu juga. “Tapi, Judith tidak pernah memberi obat apa pun kemarin.”

“Sedikit banyaknya saya paham bagaimana perangai Tuan Judith. Dia pasti malu.” suara Gunhang memelan, “Itu …mengingatkanku pada seseorang.”

Daniel diam, menimang. Jika dipikir kembali, lukanya memang kering dengan cepat, tapi ia pikir itu normal. Sebelum tahu jika ternyata itu membutuhkan waktu berbulan-bulan. Ia mungkin melewatkan sesuatu, seperti kejadian alergi kemarin misalnya.

“Bagaimana sosok seseorang itu di matamu?” Daniel balik bertanya. Ia melihat seulas senyum terpatri pada wajah tampan Gunhang.

“Dia keras kepala, juga pemarah. Ucapannya kasar, terlebih pada saya, tapi saya tahu dia melakukan itu untuk melindungi saya dan dirinya sendiri.”

Daniel yang sebelumnya memainkan herbal kering di tangan akhirnya mendongak menatap Gunhang di seberang sana, “Kau mencintainya?”

“Sangat.”

“Apa dia mencintaimu?”

“Tentu.”

“Mengapa kalian tidak bersama?”

Gerakan Gunhang terjeda. Ia menghela napasnya dalam. “Dia sudah berada di tempat di mana saya tidak akan pernah bisa menggapainya.”

Daniel termangu, “M-maaf, saya tidak bermaksud.”

“Tidak apa. Saya sudah lama merelakannya.”

Keheningan sejenak tercipta. Daniel sibuk dengan pikirannya, sedang Gunhang kembali menata herbal pada tampah.

“Saya memang sudah merelakannya.” Ujar Gunhang menyambung, “Tapi, saya harap, Tuan Judith dan anda … tidak akan punya pengalaman buruk yang serupa. Enam kaki di bawah tanah bukanlah jarak yang dekat.”

Gunhang mengajak Daniel berkeliling. Pemuda manis itu sudah datang jauh-jauh dari manor Elder di timur ke Sina di bagian barat hanya untuk mengunjungi rumahnya, sayang jika kesempatan itu tak Gunhang gunakan untuk mengenalkan wilayahnya yang cantik. Jadi, hari ini ia sekalian membawa pure omega itu menikmati festival lampion di kotanya.

“Anda tidak apa kalau pulang malam?”

Daniel menggeleng, “Santai. Aku mau lihat lampion berterbangan,” ujarnya antusias.

“Baiklah.”

“Kau bekerja pada tuan Edmund sudah berapa lama? Wah rumah Anda jauh juga, ya.” Daniel mengedarkan pandangan ke sekitar. Sina bagian barat dipenuhi pesisir, semilir angin dari arah pantai membelai wajahnya, meniup beberapa helai rambut Natachai yang sedikit kecokelatan seperti hazelnut.

“Sekitar empat tahun ini saya rasa. Saya baru pindah ke Sina lima tahun terakhir,” jawabnya.

“Benarkah? Wah, aku pikir Anda orang asli sini.”

Gunhang menggeleng. Ia tersenyum, “Tadinya, saya butuh tempat dimana saya bisa menghapus bayangan Dejun dari ingatan. Maka dari itu saya pergi begitu jauh dari tempat saya berasal.”

Daniel bisa melihat ada kerinduan terselip setiap nama itu disebut. Daniel bisa melihat cinta yang besar saat tabib itu menceritakan kekasihnya yang telah tiada. Gunhang menunduk, rambutnya yang selegam kayu eboni menutupi sebagian dahi, ikut tertiup embusan angin.

“Tapi, aku sadar kalau seharusnya aku tidak perlu berusaha melupakan dia. Setiap kali aku berusaha melupakan, saat itu pula kenangan menyakitkan itu kembali dan justru bergelayut lebih erat. Pada akhirnya, ingatan itu menggerogotiku lebih kuat dari sebelumnya. Jadi, aku memutuskan untuk hanya hidup dengan sisa memori indah yang pernah kita bagi bersama.” Gunhang menoleh menatap Natachai yang berjalan di sampingnya, “Masa lalu adalah bagian dari diri kita, kita tak bisa membuangnya begitu saja. Kita hanya harus berdamai dengan itu.”

Judith harus mendengar ini, pikir Daniel. Ia tiba-tiba tersenyum memikirkannya.

“Anda benar.”

Judith, harusnya bisa melupakan Nile dan mulai datang kepadanya.

Lampion milik Daniel dan Gunhang telah rampung saat hari memasuki petang. Keduanya kini duduk di tengah hamparan pekarangan kuil yang luas bersama kerumunan yang lain. Ratusan orang itu sama-sama menunggu lonceng kuil berbunyi untuk menerbangkan lampion mereka.

Gunhang telah selesai menulis harapannya pada permukaan lampion. Daftar do’anya begitu banyak hingga memenuhi hampir seluruh kertas dengan guratan tinta hitam.

“Anda suda selesai?”

Daniel mengangguk. “Aku akan menulis permohonannya nanti saja saat waktu pelepasan, itu rahasia.” Ia terkekeh. Tak usah repot, lagipula Daniel hanya punya satu permintaan.

“Biasanya satu lampion berisi dua sampai empat do’a orang yang berbeda. Maaf ya, gara-gara saya, kita jadi perlu membuat dua lampion.” Gunhang tersenyum hingga gigi gerahamnya terlihat. Daniel mengangguk menanggapi.

“Oh iya, ya, saya baru sadar. Anda tidak bersama pengawal kemari?” Gunhang ingat melihat lelaki bertubuh bongsor yang mengikuti Natachai kemana pun selama di mansion.

“Oh, Luke bilang akan menyusul.” Daniel tiba-tiba terkekeh, “Dia pasti sedang kebingungan di rumahmu saat ini.” Ia hampir terbahak hingga perlu menutupi mulutnya.

“Ya ampun!” Berbeda dengan Gunhang yang terkejut. “Saya ke rumah dulu ya kalau begitu. Kasihan sekali dia pasti panik mencarimu.”

“Eh? Biar saja, sebentar lagi lampionnya diterbangkan!”

“Tidak apa. Sepertinya masih cukup waktu. Anda tunggu disini, ya. Aku akan menyusul ke rumah sebentar saja.”

Daniel mengangguk, memegangi lampion Gunhang saat tabib itu berlari memecah kerumunan. Padahal sesekali sah saja mengerjai Luke. Ia muak diikuti terus menerus. Setelah ini, ia bertekad untuk merengek pada Judith agar Luke dibebas tugaskan.

Daniel menoleh ke kanan dan kiri. Suasananya begitu ramai. Ada banyak pasangan, keluarga kecil mau pun sekelompok teman yang sibuk berbincang. Tawa mereka menggelegak menambah kesan riuh. Daniel tidak begitu suka kerumunan, tapi ia suka menyaksikan kebahagiaan orang yang beragam. Senyum hangat mereka yang hadir seolah membuat hatinya menghangat.

Ah, akan lengkap apabila Phuwin bisa kemari bersamanya. Tahun depan ingatkan ia untuk mengajak Phuwin kemari, ya walaupun pasti ia mengajak si Aletra dan Lernard junior tentunya.

Hari sudah gelap, obor-obor api di beberapa titik sudah dinyalakan. Daniel mulai menulis permohonan pada permukaan lampion miliknya. Tulisan itu tercetak cukup besar, hanya memakan seperempat bagian lampion.

Tahun depan, ia akan kembali dengan Phuwin dan permohonan yang lebih banyak.

Ya, semoga tahun depan keinginan itu bisa terwujud.

Semoga tahun depan,

ia masih hidup.

Daniel tersenyum membaca permohonannya sendiri. Ada banyak harapan yang ia miliki, tapi pertama-tama, untuk mewujudkan seluruh keinginan itu, ia harus hidup terlebih dahulu.

Denting lonceng terdengar. Sorakan ramai yang berhitung mundur terdengar gegap gempita. Namun, baru saja hitungan itu sampai di angka kedua, hujan tiba-tiba turun. Semua orang yang berkumpul di tengah lapang berlarian ke pinggiran kuil untuk berteduh. Beberapa bahu mereka bertabrakan saking tergesanya, tapi Daniel tidak ambil pusing.

Ia tidak berlari. Daniel hanya berdiri di tengah ricuhnya manusia-manusia itu berhambur. Daniel membiarkan air hujan membasahi tubuhnya. Ia memperhatikan tulisan di atas lampion yang mulai memudar. Daniel termangu memperhatikan bagaimana rintik air itu melunturkan tinta sekaligus merusak kertas pada kerangka bambu lampion.

Pandangannya masih terpaku sebelum tetesan air itu berhenti merusak lampion buatannya. Daniel menengadah, ternyata seseorang baru saja membuka payung hitam untuk menaunginya.

Pandangan Daniel lantas beralih pada sosok pria di hadapan. Maniknya menatap dengan nanar. Mata tajam itu tampak berkaca meski sedikit tersamar air hujan.

“Judith.” Lirih Daniel. Cengkeramannya pada sisi lampion mengerat. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan tangis. Seketika merasa ini tidak adil.

“Aku ingin menerbangkan lampion.”

Judith memperpendek jarak. Hendak menyeka airmata Natachai yang menetes sebelum pria itu menunduk.

“A-aku,” ucapnya tercekat. “Aku sudah menemukan jawabannya. Buku itu lengkap.”

Daniel meremat lampion itu hingga kertasnya yang basah semakin remuk. Pandangan mengabur, bahunya bergetar. Daniel memandang bagaimana lampion itu rusak, tak berbentuk.

Seolah melihat bagaimana untaian harapnya yang ikut hancur.

“Judith, agar kita terpisah … apakah tidak ada cara lain selain kematian?”

“Judith, aku takut mati.”

“A-aku … aku ingin hidup.”

Tangis Daniel pecah. Judith merengkuhnya ke dalam pelukan. Ia mengusap bahu si omega yang bergetar. Tangisnya keras, lepas, tahu tak akan ada yang mendengar karena teredam hujan. Judith mematai kerangka lampion yang luruh karena hujan, tulisannya sudah rusak sebagian besar. Guratan itu nyaris tidak terbaca, tapi, ia tahu permohonan macam apa yang membuat Natachai sampai tersedu sebegininya.

“Judith, aku hanya ingin hidup.”

Judith harap Natachai tahu, untuk hidup, ia tidak membutuhkan lampion.

Aku ingin hidup

Daniel menatap pantulan dirinya di cermin. Kemeja satin berwarna biru muda dengan jas putih itu tampak indah membalut tubuh Natachai yang semampai. Ia tengah bercermin sembari mengingat beberapa hal dalam novel dan bertekad untuk menjauhinya selama pesta.

Racun monkhood yang akan dituang pada gelas sampanye, serta seorang Elder bernama Jossaiah dari prefektur Mokut. Praktisnya, Daniel tidak akan memakan apa pun atau menyapa siapa pun di pesta nanti.

“Sudah siap?” suara Judith memecah lamunan. Pemuda itu berdiri di ambang pintu. Dari pantulan kaca, ia berjalan mendekat, “Ayo.”

Namun Daniel menahan langkah mereka membuat Judith menoleh. “Aku tidak suka kerumunan.” ujarnya.

“Baiklah, aku tidak akan terlalu lama.” Daniel mengangguk setelah Judith menjawab.

Judith berjalan beberapa kaki lebih depan. Dari jarak ini, Daniel bisa memandang punggung tegap itu melangkah dengan penuh wibawa. Judith membawa aura dominan itu kemana pun ia pergi. Kharismanya tidak dapat dipungkiri dan itu membuat Daniel merasa kecil. Apa mungkin, beberapa orang berusaha menyingkirkan Natachai karena menganggap omega sepertinya tak layak bersanding dengan sosok Judith yang menarik. Apa yang salah dengan Natachai? Omega itu tampan sekaligus jelita saat ia bercermin. Kulitnya seputih susu dengan bibir yang merona alami. Daniel merasa wajah Natachai tidaklah seburuk itu.

“Nile, sudah disini?”

“Sudah. Ayo kita pergi, Judith, Natachai.”

Ah, ini mungkin bukan tentang fisik.

Wajah sempurna bak pahatan dewa, sosok menyenangkan, serta keluarga terpandang. Nile memiliki semua itu, tidak seperti Natachai. Daniel seketika merasa sulit menggantikan kedudukan Nile dengan ia yang biasa. Sedari awal, jika bukan karena titel pure omega yang disandangnya, Judith bahkan tidak akan pernah sudi barang sekedar untuk menoleh kepadanya.

Nile menggenggam tangan Judith dan pemandangan itu terpotret oleh Daniel yang berjalan di belakang mereka. Keduanya tampak serasi. Derap langkah Daniel memelan, jarak yang mula-mula satu hasta itu kini terpaut beberapa kaki.

Enam kaki, ternyata memang bukan jarak yang dekat.

Bakan jika Daniel berhenti melangkah dan hilang di tengah percakapan mereka, Judith tidak akan pernah menyadarinya.

Degup jantung Natachai berdebar tidak karuan. Permukaan tangannya dingin penuh keringat. Langkahnya terhenti total. Daniel mematung. Ia mengepal, berusaha memberi tahu Natachai bahwa dirinya juga berharga. Bahwa di dunia ini, bukan hanya Nile yang pantas mendapatkan cinta.

“Natachai. Apa yang kau lakukan?” Hangat Luke tiba-tiba melingkupi jari jemari Daniel, telapak tangan besar itu menggenggam tangannya.

Daniel mendongak menatap Luke. “Aku tidak mau satu kereta dengan Judith.”

***

Luke tidak banyak bertanya saat sang tuan meminta untuk duduk di sebelahnya. Kereta di depan membawa Judith dan Nile dengan Giusseppe yang berjaga. Sedang di dalam kereta yang lebih kecil ini Luke dan Pond duduk berseberangan dengan Daniel yang sedari tadi hanya melamun.

Pond menelisik wajah yang tampak kuyu tersebut. Keputusan baik ia tidak serta membawa Phuwin meskipun omega itu merajuk untuk ikut ke pesta jamuan. Jika Phuwin melihat sahabatnya bermuram durja seperti sekarang, bisa-bisa terjadi perang dingin kedua antara mereka.

“Phuwin apa kabar?” Daniel memecah keheningan.

“Baik.”

“Syukurlah.” Setelah itu percakapan pun berhenti. Keheningan kembali menyambangi ketiganya.

“Sesekali main lah ke rumah kami, Phuwin merindukanmu.” Pond yang tidak tahan dengan kesunyian yang tercipta akhirnya kembali bicara.

Daniel hanya mengangguk. Ia menatap jalanan gelap melalui kaca jendela kereta.

“Pond.” ujarnya tanpa bertemu pandang.

“Ya?”

“Di luar sana, ada berapa banyak rumor tentang kedekatan Judith dan Nile?”

Pond terdiam. Itu banyak jika harus dikatakan, tapi tidak mungkin ia menyuguhkan fakta menyakitkan itu ke telinga Natachai.

“Ada banyak.” Pond memelototi Luke yang mebuka mulut dengan begitu enteng.

‘Mau mati, kah?’ tatapannya berkata demikian sedang Luke tidak ambil pusing.

“Tapi itu cuma rumor,” sambung Luke, “Kenyataannya King Judith hanya mencintaimu.” tandasnya membuat Daniel tersenyum dengan kecut.

“Bicara apa kamu ini!” sahutnya merasa lucu. “Diantara rumor-rumor itu…” ucapannya terjeda. Pond dan Luke menanti dengan berdegup lanjutan kalimat yang hendak terlontar.

“Apakah ada gosip tentang mereka yang pernah mating?”

Luke tersedak di tempat. Merasa tidak pantas telah mendengarnya. Sedang Pond, menatap Natachai sedikit tidak percaya.

“Sebetulnya, apa yang ingin kau ketahui?” ia menembak tujuan Natachai.

“Sudah sampai!” Luke menyela, sadar ketegangan yang terjadi. Kereta sudah berhenti di depan ballroom. Ketiganya turun, rombongan kereta depan sudah menunggu lebih dulu. Judith sedikit mundur menghampiri, ia tiba-tiba menutup dua kancing teratas kemeja satin Daniel yang terbuka.

“Ayo masuk.”

Daniel menepis tangan Judith yang meraihnya, “Kau duluan.”

Judith anehnya tersenyum. Mengacak lembut tatanan rambut yang sudah rapi tersebut, “Hati-hati di dalam.” Lalu pergi ke dalam bersama Nile.

Giusseppe, Luke, dan Pond lalu mengerubungi Daniel. Hal itu mengundang decakan risih dari si omega, “Aish, apa-apaan ini! Bagaimana aku bisa melihat jalan jika kalian menutup pandanganku seperti ini,” sewotnya.

“Sudah, jangan banyak bicara.” Ketiga mereka berjalan menggeret sedikit paksa Daniel yang berada di tengah mereka.

Rombongan Daniel menyusul langkah Judith dengan cepat. Keduanya beriringan dengan Nile yang mengekor di belakang. Natachai menyalami beberapa orang saat Judith memperkenalkannya, tapi tak lama orang-orang tersebut langsung berdiskusi dengan Nile di belakang.

Daniel paham, ia memang orang baru di dunia yang begitu gemerlap ini. Topik pembicaraan mereka pasti berbeda. Daniel sadar para konglomerat tersebut tidak mungkin tertarik mengetahui bagaimana caranya mengelap sebidang kaca hingga bersih seperti transparan.

Merasa bosan, Daniel secara otomatis merangsek mendekati Luke. Pengawal itu menawarinya beberapa jamuan yang menggoda namun Daniel harus berulang kali pula menolak.

“Makan saja, nanti aku cicipi terlebih dahulu,” ujar Luke.

Daniel tetap menggeleng. Hidangan mana pun tidak akan pernah sebanding dengan nyawa satu manusia. Ia tidak ingin ambil resiko.

“Aku tidak lapar,” jawabnya.

Seseorang tiba-tiba datang menghampiri mereka. Lelaki dengan setelan merah maroon berbahan beludru itu mengulas senyum saat bertemu pandang dengan Natachai. Ia menyodorkan sebuah sampanye ke arahnya, “Anda berkenan?”

Daniel menggeleng secara refleks. Lobus frontalisnya telah terdoktrin untuk menolak sampanye dalam bentuk apa pun yang disajikan.

“Oh, atau mau wine?” sambung pria yang beberapa senti lebih pendek tersebut.

Ia kembali menggeleng, “Tidak, terimakasih. Aku tidak minum.”

Luke merapat ke arah Daniel, ia berbisik. “Hey, tidak sopan menolak tawaran minum. Dia tuan Thiti, omeganya pemimpin klan Vihokratana. Pack-nya masih dalam lingkup prefektur Judith.”

Daniel tak goyah, ia tetap pada pendirian.

“Tuan aku minta maaf jika itu lancang. Tapi, aku benar-benar tidak bisa minum.”

Pria di depannya tersenyum dengan manis, “Tak apa, aku mengerti. Kau Natachai, kan?”

Daniel mengangguk, membalas uluran tangan.

“Aku Thiti.”

Daniel kembali mengangguk, yang selanjutnya ia hanya mendengarkan pria di depannya itu berbicara tanpa benar-benar ingin melibatkan diri ke dalam percakapan.

***

Daniel mencuci wajah dengan air mengalir di wastafel. Butuh banyak usaha sampai ia terbebas dari keramaian terlebih dengan kekangan tiga pesuruh Judith, dan akhirnya disinilah ia, toilet umum.

Perutnya berbunyi, ia sedikit lapar. Tenggorokan terasa kering setelah berulang kali basa basi dengan orang asing yang tidak ia kenal. Daniel mengacak rambutnya frustasi. Tidak peduli seberapa menggodanya makanan di luar sana, ia tidak akan pernah menyentuh sedikit pun jamuan mereka. Saat ini selain bergegas pulang, hanya itu yang bisa ia lakukan. Daniel bisa mencegah keracunan yang Natachai alami di pesta dengan bertindak hati-hati, bukan?

“Anda Natachai, ya?” seorang Alpha dengan perawakan yang bongsor menghampiri dari arah samping.

Daniel bersikap waspada, ia membersihkan sisa sabun di tangannya untuk bergegas pergi.

“Aku ingin menyapa anda sedari tadi. Tapi ternyata mendekati anda itu cukup sulit, ya? Judith sangat protektif.” Ia tersenyum menyadari gelagat Natachai yang terburu, lantas mengulurkan tangan ke hadapan. “Aku Jossaiah, Elder dari prefektur Mokut. Kau bisa memanggilku Joss.”

Daniel mengibas-ngibaskan tangan membuang sisa air bilasan. “Terimakasih untuk keramah tamahanmu,” ujarnya menatap si lawan bicara melalui kaca. “Tapi aku rasa anda sudah tahu namaku, jadi kita tidak perlu lagi berkenalan, bukan?”

“Rupanya benar kata orang-orang,” Joss menyela hingga Daniel yang hendak pergi itu menghentikan langkahnya. “Pure omega prefektur Sina ternyata memang galak sesuai rumor yang beredar.”

“Terserah, anda bisa berpikir sesuai kemauan anda.”

“Berbicaralah dengan lembut, Natachai.” Joss kembali mengulas senyum memuakkan. Daniel bersumpah, bahwasannya tampang itu adalah tipe wajah yang paling ia hindari dalam kriteria idealnya. “Bicara yang lembut maka Judith akan lebih memilihmu ketimbang Nile.”

Daniel terdiam. Ia tahu ke arah mana pembicaraan mereka akan bermuara.

“Tidakkah kamu muak mencium feromon suamimu di tubuh omega lain?” ia ingin meninju wajah sengak itu dengan kepalan tangan, tapi Daniel sadar Joss bukanlah musuh yang bisa dengan gegabah ia singkirkan. Yang paling penting, lelaki itu tampak tahu banyak hal, Daniel harus ekstra berhati-hati jika tidak ingin celaka.

Ingat tujuan awal, hindari jamuan dan Jossaiah selama pesta.

“Terimakasih untuk saran anda, tapi, aku rasa tidak perlu menjadi posesif untuk sesuatu yang sudah jelas milik kita.” Daniel memutuskan untuk benar-benar menjauh. Langkahnya melebar, mencari Judith di tengah kerumunan.

Ia harus segera pulang.

“Kau darimana saja?” Luke menghampiri dari arah samping. Melangkah terburu menyamai derap Natachai yang tergesa.

“Toilet. Dimana Judith?”

“Aku juga sedang mencari King Judith, terakhir ia — oh itu Nile!”

Keduanya menghampiri si golden omega yang terlihat menikmati makanan pesta. Nile tersenyum saat Natachai dan Luke tiba di hadapan, tak lupa menyodorkan beberapa dessert dalam wadah yang kecil.

Natachai menggeleng, “Dimana Judith?” tanyanya.

“Entah. Tadi, sih, ada urusan.” Nile meneguk sisa sampanye dalam gelas flute hingga tandas. Pandangannya ikut beredar, mencari keberadaan Judith.

“Loh, kan tadi dia bersamamu,” sewotnya.

Nile menggeleng. Ia sedikit terbatuk, “Aku juga — ” pemuda manis itu berdeham berusaha meredam gatal di tenggorokan, “A-aku — uhuk”

Sebelum pria itu benar-benar tidak mampu melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba saja Nile terhuyung dengan darah mengucur di mulutnya.

“Ni — ”

“MENYINGKIR!”

Bruk.

Entah datang darimana tiba-tiba Judith mendorongnya dengan begitu keras. Mata Daniel membola, tubuhnya seperti melayang saking kencangnya dorongan tangan Judith menghempas. Punggungnya terantuk meja hingga beberapa nampan di atas kayu itu berjatuhan ke lantai.

“NILE!”

Daniel melihat kilatan amarah saat Judith menatapnya. Ia termangu. Tubuhnya menegang. Judith, tampak siap membunuh siapa pun sekarang.

To be continued…

Unlisted

--

--

No responses yet