Like TV In Black And White

rain
5 min readNov 17, 2023

--

Nata sering punya tanya dalam benak; seperti apa warna hijau pada brokoli yang beberapa saat lalu ia masukkan dalam kotak makan, secantik apa warna merah yang melambangkan cinta pada kelopak mawar, atau semenawan apa kulit tan pria yang sedang menatap lensa kamera di hadapannya.

“Eh, cateringnya udah dateng?” Suara ringan milik pria bertubuh gempal di hadapannya membuyarkan lamunan.

“A-ah iya…” Jawab Nata dengan kikuk.

Semua kegiatan seolah terhenti, staff pemotretan bergantian mengerubunginya untuk mengambil jatah makan siang. Begitu pun dengan seorang wanita berambut pendek dengan wajah yang terlihat penat.

Perempuan itu mengambil satu kotak paling mencolok yang Nata jinjing, “Punya Archy yang kotak biru, ya?”

Oh, mereka bilang warnanya biru.

“I-iya.” Nata mengangguk. Kak Fon bilang kotak untuk Archy memang berbeda warna.

“Oke, yang ini beras merah ya bener. Makasih.”

Tapi peduli apa? Bagi Nata, biru dan merah tidak adanya bedanya.

“Wah, Archy emang cakep banget ya pake warna-warna earth tone gini. Jumpster kita yang warna khaki pasti cocok banget deh di dia.”

Nata sering punya tanya dalam benak; persisnya, seperti apa eksistensi warna yang begitu banyak jumlahnya. Karena penglihatannya, hanya mampu menangkap spektrum abu.

Seharusnya Nata pulang tepat setelah nasi kotak yang ia jinjing habis dalam genggaman. Fon berpesan agar ia segera bergegas setelah mengantar makanan. Namun, ia selalu suka menyaksikan sibuknya studio foto. Bagaimana setiap orang berjalan cepat membawa pakaian, secepat apa sang bintang berganti kostum yang tentunya bagi Nata berwarna abu-abu, hingga sapuan kuas perias yang terburu-buru. Nata suka. Terlebih, saat manik besar itu menatap jepretan kamera dengan tajam.

“Hey, sini dulu bantuin.”

Nata terkesiap saat tangannya tiba-tiba ditarik oleh salah satu tim perias. Seorang wanita dan satu orang pria disana mengerubungi Archy. Selebriti itu tengah terpejam ketika perias menyapukan highlighter pada rahangnya yang tegas. Wajahnya sangat tampan, Nata menjadi gugup ketika melihat dari jarak sedekat ini. “Mbak, aku — ”

“Minta tolong sebentar, ya? Ini lagi buru-buru banget tapi staff kurang.”

Nata terpaksa mengangguk. Tak lama wanita itu menyodorkan beberapa gantung baju padanya. Nata meraih pakaian tersebut, menahannya beberapa waktu. Saat Archy membuka mata, Nata menelan ludah susah payah saat manik itu memaku ke arahnya. Matanya berpendar ke seluruh ruangan, telinganya memerah padahal yang pria tampan itu lakukan hanya melihat. Entah sihir apa yang Archy gunakan.

“Coba pakein jaket yang kuning mustard, dong.” wanita yang tengah sibuk memoles lip balm pada bibir penuh Archy itu berujar tanpa menoleh sedikit pun.

“H-hah?” Nata panik.

“Iya, yang kuning tua pokoknya.”

Panik karena sekali lagi, bagi iris matanya yang tidak berfungsi, setumpuk baju ini hanya punya satu warna. Nata menarik satu gantungan secara asal. Ia hendak memakaikannya dengan segera jika saja Archy tidak berujar dengan suaranya yang lembut itu.

“Ini warna beige.”

Nata mendongak. Tentu saja ia salah. Ia menjadi ragu, cengekramannya pada baju yang ia genggam menguat. Gugup melanda sehingga peluhnya bercucuran.

“Duh, kamu tuh budeg, ya? Kan aku bilang kuning mustard.” Wanita di sampingnya menjadi tidak sabaran. Ia sedikit berteriak, menarik salah satu gantungan pada genggaman Nata.

“M-maaf.” ujar Nata pada akhirnya.

“Yaudah sekarang cariin aja scarf yang warna coklat, di tumpukan cardigan ya, liat aja di dalem hangernya.”

Nata kembali gugup. Seluruh orang begitu sibuk hingga ia tidak sanggup menyela untuk menjelaskan keadaannya.

Wanita itu menghela napas kesal saat Nata malah menyodorkan dua scarf bersamaan ke hadapannya. “Duh, kamu tuh buta warna ya? Masa bedain warna coklat sama merah aja gak bisa!”

Nata menunduk, menggigit bibirnya. Ia ingin menjelaskan, namun bentakan di depan umum itu sudah menelan keberanian.

“Fey, berlebihan banget sih. Udah minta tolong juga bukannya sopan.” Sepertinya selain tampan secara fisik, hati Archy juga baik. Nata terpaku saat pemuda itu mengelus punggungnya yang menegang. “Sorry, ya. Freya kalo lagi panik emang kayak macan.”

Senyumnya yang manis menyihir Nata. Membuat kurvanya melengkung dengan cara yang sama.

“Ya abis lagi buru-buru gini malah jadi makin lama, kan!” gerutu wanita yang Archy panggil Freya.

“Maaf, kak.” Nata menyodorkan gantungan-gantungan itu pada Freya. Suaranya mengecil, “Aku emang buta warna.”

Nata masih ingat, bagaimana wajah pemuda itu menganga karena terkejut. Rautnya panik dengan guratan rasa bersalah yang jelas tergambar. Nata jadi terkekeh ringan, saat mengingat hari pertama mereka akhirnya dapat berbincang.

Siapa sangka, hanya dengan sedikit kesalahan yang canggung itu bisa membuat takdir kini menyatukan mereka dalam sebuah hubungan yang tak pernah bisa Nata bayangkan.

Wajah Archy saat ini begitu damai karena tertidur pulas. Nata gemar memandang si tampan yang biasanya nampak garang itu kini terlihat seperti bayi ketika ia tertidur.

Tak pernah ada yang tahu, kecuali dirinya, jika Archy adalah seorang bayi besar yang menggemaskan.

“Aku tau aku emang ganteng,” Archy berujar dengan mata yang masih terpejam. Satu tangannya meraih pinggang Nata hingga tubuh mereka berhimpit di balik selimut, “tapi kalo diliatin begitu terus … lama-lama aku bisa bolong!” Ia lantas membuka mata dan mencuri satu kecupan pada bibir Nata yang merona.

“Iiih Archy! Kamu belom gosok gigi, bau!”

“Ah, my bad! Sorry, abisnya aku gak tahan mau ciyum kamu!” Archy kembali menarik tubuh Nata seolah keduanya bisa menyatu. Ia sedikit turun, mengusakkan kepala pada perpotongan leher kekasihnya. Hangat napas Archy menerpa ceruk leher Nata dengan cara yang begitu nyaman.

“Kenapa bisa bolong?” tanya Nata.

“Ya karena aku meleleh,” jawab Archy teredam. Bibirnya yang bergerak, bertabrakan dengan kulit Nata yang semulus porselen.

“Stop cheesy!” rutuk Nata sedikit terkekeh.

Archy mendongak, menatap wajah sang kekasih yang bersemu merah, “Stop cantik!”

“Dih Archy apa sih!” senyum Nata tidak tertahan. Tangannya memukul pelan dada Archy.

“Apa sayaaang?” Archy lantas menghujani Nata dengan kecupan yang bertubi-tubi. Dahi, hidung, hingga pipi semua tak lolos dari bidikan bibirnya yang penuh.

Dan itu mengundang protesan Nata secara otomatis. “Archy bauuuu! Mandi dulu sanaaa ih!”

“Iya, ya! Kok kamu bisa wangi gini, sih? Curang!” ia kembali menghujani Nata dengan kecupan sebelum akhirnya sebuah ciuman panjang mendarat pada ranum kekasihnya yang kini tampak menerima dengan sukarela.

“Aaaa stress! Kamu lucu banget kalo salting, pipinya jadi merah.” Archy berucap setelah ciuman yang panjang.

“Merah?” tanya Nata retoris, “Merah itu kayak gimana?”

“Hangat.” Archy menjelaskan sembari kembali mendusal pada dada kekasihnya. Menghirup lamat aroma Nata yang lembut dan menenangkan. “Rasanya kayak sup tomat buatan nenek yang kita makan bareng pas lagi ujan. Hangat, warnanya cerah dan bikin kamu bergairah.”

Nata mengangguk. Membayangkan hangatnya kuah sup yang sedikit asam itu melewati kerongkongan. Ia menunduk, mengusak pelan surai Archy. Hidungnya menelisik di antara helaian rambut, menyesap dalam aroma shampoo miliknya bercampur dengan bau Archy yang khas. Nata selalu suka, bagaimana cara Archy menjelaskan berbagai warna pada dirinya.

“Pagi ini mau sarapan apa, cantik?”

“Sup tomat.”

“Oh. Tanya aku dong, gantian.”

Nata terkekeh, “hari ini Archy mau makan apa emangnya?”

“Mau makan Nata yang merah kayak tomat!”

Karena bagi dunia Nata yang hanya mengenal abu, Archy mampu menjadi mata yang mengenalkan beragam warna baru.

Unlisted

--

--

No responses yet