Heather — What If
“Aresh,” Nate menatap Aresh yang baru saja menyimpan cangkir tehnya di atas meja. Teh itu sudah tandas beberapa saat lalu, Nate tahu. Hanya saja Aresh berulang kali meminum gelasnya yang kosong saking canggung.
“Tolong jauhin gue.”
Sorot luka pada mata Aresh saat ini hanyalah sebatas kesedihan seorang teman. Nate tidak boleh berharap lebih.
“Tap — ”
“Aresh,” suaranya bergetar, Nate takut goyah, “Aku minta tolong.”
Aresh beranjak, dadanya bergemuruh menahan sesak. “Aku gak nyangka kalo pertemanan kita sedangkal itu buat kamu.”
Aresh boleh berpendapat demikian. Menghakimi Nate hanya menurut perspektifnya, Nate tidak keberatan. Ia hanya ingin Aresh pergi, memunggungi, dan tak kembali lagi. Karena tidak mudah untuk melupakan seseorang saat ia selalu berada di sekitarmu hampir dua puluh empat jam.
Aresh tidak akan paham hal itu, Nate tahu.
Untuk Aresh yang selalu mendapat cinta, tentu ia tidak akan paham. Bagaimana hal yang menurutnya remeh temeh ini bisa berarti akhir bagi seseorang.
Nate mendongak saat segelas matcha latte tersodor di atas meja di hadapannya. Nichole menempelkan cup dingun itu pada pipinya. Ikut duduk di hadapan Nate.
“Apa lagi? Masih mau ngatain gue rendahan?” tuduh Nate begitu melihat tatapan iba Nichole.
“Matcha-nya pake oatmilk.” Namun lelaki itu merespon dengan topik lain.
“Gak suka.”
“Lo bukan gak suka, tapi cuma gak terbiasa.”
“Gue lagi gak punya energi buat berantem, Nichole.”
Nichole menghela napasnya kasar. Menatap bagaimana airmata telah bergumul pada pelupuk Nate yang tajam.
“Kali-kali lo cobain matcha pake oatmilk. Kalo gak suka, lo bisa coba pake almond milk.” Nichole menjeda beberapa saat sebelum melanjutkan, “Buat jadi matcha latte yang enak, gak selalu harus pake susu sapi.”
Ia meraih minuman favoritnya yang sudah Nichole pesankan dengan sedikit perubahan. Nate meneguk, matcha itu terasa dua kali lipat lebih pahit.
“Pipi lo kenapa?”
Mata Nate mengerjap, sedikit ragu berbagi pada Nichole. Pipinya memang sedikit lebam sedari tadi, mungkin karena Aresh terlalu sibuk meratapi perasaannya, Aresh jadi tidak sadar. Atau mungkin, singkatnya, Aresh memang sudah tidak peduli.
“Ayah tau gue belok.” Nate menjawab.
“Lo … kena tonjok?”
Ia mengangguk, “Kind of.”
“Sakit?”
“It’s okkay. Gue emang sumber kekecewaan.”
“Lo nggak. Jangan mikir kayak gitu, Nate.”
“Nichole.”
“Hmm?”
Nate menunduk, tak kuasa lagi menahan derai airmatanya.
“Ayah selalu kepengen punya anak cewek. Ayah bilang, anak perempuan itu gampang diatur. Ayah bilang, anak perempuan itu lebih lucu. Ayah bilang, seandainya mama bisa punya anak perempuan, mungkin … mereka bakal pikir-pikir lagi buat cerai.”
Jemari lentik itu mengepal, meremat celana kainnya hingga kusut masai.
“Aresh bilang, Aresh suka wajah cantiknya Valerie. Rambut panjang Vale, senyum manisnya. Aresh … suka cewek.”
Napasnya tersengal, Nate masih sibuk tertunduk.
“Nichole, gue … pengen jadi cewek.”
Kali ini Nate mendongak, menatap Nichole yang ternyata sudah ada di hadapannya, tanpa terhalang meja.
“If another life does exist, i wanna be a girl. I — i … wanna be his girl.”
Jemari Nichole yang hangat menyentuh pipi Nate. Mengusap airmatanya dengan lembut, “Hey, pretty…” Nichole menangkup wajah itu dengan kedua tangannya, “But, i want you even as a man.”