Betrayal

rain
10 min readOct 23, 2023

--

Hari sudah malam. Daniel masih berdiam diri di ruang do’a. Kakinya kembali berlutut, tangannya bertaut, Daniel sibuk mengutarakan untaian harapan. Semoga ia tetap hidup, semoga kematian tidak menjemputnya lebih awal, dan semoga, apabila mungkin, ia ingin menjadi serakah dengan mengharap hati Judith untuknya.

Nampan makanan di pojok ruangan terabaikan. Daniel selalu merasa lebih mudah berdo’a ketika perutnya kosong.

“Malam ini saja …” saat siklus rut Judith datang, “Aku harap ia membutuhkan keberadaanku.”

Daniel harap, Judith memerlukan ia di sampingnya.

Pond menggigit bibir bawahnya sendiri hingga sedikit lecet. Judith — Matt, lebih tepatnya — sudah mengamuk sedari tadi. Rantai besi yang ia gunakan untuk mengunci tangannya pada tiang di pinggir kasur sudah menegang beberapa kali. Pond khawatir rantai itu terlepas dan Matt menghabisinya seketika. Itu tidak mustahil.

“Pond.” Giginya bergemelutuk. “Bawa Natachai kemari!”

Pond menggeleng. Ia segera berbalik, hendak menghilang di balik pintu sebelum suara untaian besi yang tercerai berai terdengar, dan detik itu pula lehernya telah dicengkeram dengan erat. Kuku jari Judith yang tajam sedikit menembus kulitnya, manik semerah darah yang pekat itu mengancamnya.

“Bawa Natachai padaku sekarang juga.” Matt mengatakannya dengan suara yang berat, tak lupa penekanan di setiap suku kata.

“Judith akan menghukummu, Matt.”

“Kau pikir aku takut?”

“M — ”

“Jangan.” Itu Judith, ia berhasil menyelinap di tengah penguasaan Matt pada tubuhnya. Namun begitu, cekikan pada leher Pond tidak mengendur. Semakin kuat hingga ia mulai terbatuk.

Judith berdeham. Lalu memerintah dengan elder tone yang tak bisa Pond bantah, “Bawakan aku omega.”

Walau pun, titah itu membawa petaka.

“Kau gila? Moon Goddess bisa menghukummu.”

“Siapa pun. Sekarang!”

Pond terbatuk saat cengkeraman itu dilepas. Ia bergegas meraih pintu, tubuhnya bergerak mengikuti perintah Judith. Ketika ia baru saja membukanya, Nile sudah berdiri di hadapan ruangan.

“P-pond…”

“Pergi.” sergah Pond sebelum Nile dapat melanjutkan.

“Aku bisa membantu.”

“Tidak perlu. Pergilah, aku bisa mengatasinya sendiri.”

Nile mencengkeram lengan Pond, ia menatapnya dengan sengit. “Dan membiarkan Judith mating dengan sembarang omega, begitu?”

“Kau tidak berhak meremehkanku, Nile.”

“Tidak ada omega yang lebih baik untuk melakukannya selain aku, Pond. Kau bisa membahayakan keluarga Elder jika mengambil omega lain.”

“Apa bedanya denganmu?”

“A-aku … bisa tutup mulut. Aku akan melakukannya seperti jalang.”

“Tsk.” Pond mendengus, “Aku lebih baik menyewa jalang dari rumah bordil ketimbang membawamu masuk. Kau punya perasaan untuk Judith dan aku tidak mungkin membiarkannya menyentuhmu. Sadarlah Nile, dia sudah menikah!”

“Tak mungkin ada jalang lain yang akan diam saat tau mereka tidur dengan Elder. Semuanya akan berlomba untuk naik setinggi mungkin. Kemungkinan terburuk, jika Judith lepas kendali dan knotting, kau mau seorang jalang mengandung keturunan Judith? Pewaris Wattanasetsiri, Elder kalian?”

Gigi Pond bergemelutuk. Kebimbangan menderanya.

“Aku sudah berada di ketinggian yang sama dengan kalian. Pond, aku tidak punya maksud lain.”

“Kau sadar apa yang kau lakukan sekarang, dan bagaimana akibatnya nanti, kan?” Nile mengangguk.

“Jika sesuatu terjadi, kau tidak akan meminta pertanggung jawaban Judith?” Lagi, Nile mengangguk.

“Kalau begitu, berjanjilah.”

“Aku berjan — ”

Wolfs oath.” Nile menjadi ragu, titah untuk melakukan ritual sumpah dengan wolfs oath bukanlah perkara sepele.

Pond meraih punggung tangan Nile. Mengarahkan jari manisnya pada mulut, “Lakukan atau tidak sama sekali.”

Nile mengepal, menghadapkan ruas jemari manisnya di depan mulut. Siap mengikat sebuah sumpah yang jika ia ingkar, sumpah itu akan mencekik dan mencelakai dirinya sendiri.

“Aku berjanji tidak akan mengungkit hal ini pada siapa pun.” Nile siap untuk menggigit jari manisnya, namun gerakan itu tertahan oleh Pond.

“Dan jika sesuatu terjadi,” tambahnya yang dibalas nanar oleh Nile. Apa lagi yang Alpha itu inginkan, pikirnya.

“Dan jika sesuatu terjadi.” tegas Pond sekali lagi agar Nile mengikuti.

Membuat si omega akhirnya membeo, “Dan jika sesuatu terjadi,”

“Aku tidak akan meminta pertanggung jawaban Judith.”

Nile menelan salivanya kasar. Mating saat alpha rut amatlah beresiko, Judith bisa saja melakukan kontting padanya dan ia dapat mengandung anak Judith setelah itu. Meminta Judith melepas tanggung jawab, sama saja berarti petaka bagi Nile.

Namun, ia sudah memutuskan.

Nile tidak masalah dengan itu. Ia, belum dapat melepas Judith. Biarkan dirinya melepas rindu pada Judith malam ini.

“Aku tidak akan meminta sedikit pun pertanggung jawaban Judith.” Setelah mengucapkan itu Nile mengeluarkan gigi taring yang runcing, menggigit ruas jari manisnya hingga berdarah. Kemudian cairan merah itu mengalir hingga menetes di ujung jarinya.

Mendengar itu, Pond memutar kenop pintu. Membiarkan Nile masuk. Membiarkan Judith terkena hukuman cambuk Moon Goddess yang sayangnya, hukuman itu juga akan sampai di punggung Natachai.

Daniel tersungkur hingga wajahnya mencium lantai yang dingin. Ia berteriak sekuat tenaga saat tiba-tiba saja sesuatu terasa mendorongnya dengan keras. Lengkap dengan panas luar biasa yang mendera punggungnya.

Tidak ada suara apa pun, senyap dan sunyi khas tengah malam, Daniel juga tidak melihat seseorang menyelinap masuk. Semuanya terjadi secepat kilat, ia tidak bisa mencerna apa yang baru saja terjadi, yang pasti perih teramat mulai menjalar pada tubuh bagian belakangnya. Rasanya kulit punggung Daniel terkoyak hingga tulangnya terlihat.

Peluh mengucur dari pelipisnya, ia sesak dan sulit bernapas. Airmata tiba-tiba saja berdesakan di ujung netranya. Daniel meraung. Bau anyir menyapa indera penciuman. Baju bagian belakangnya terasa becek. Panas itu belum hilang, Daniel bahkan kesulitan barang sekedar menggerakan tangan. Lututnya yang sakit karena terlalu lama berlutut itu mulai mati rasa.

Daniel merayap, berusaha mencari permukaan yang empuk. Namun nihil. Ruang do’a didominasi kayu jati yang telah di pernis. Ia lalu bertumpu pada siku, menitik beratkan seluruh beban tubuh pada sendi tangan yang satu itu.

Daniel menarik tubuhnya. Bibirnya terkatup, Daniel menahan tangis yang jika dilepas mungkin akan menggelegar hingga membangunkan seluruh penghuni mansion.

Beruntung jarak ruang do’a tidak terlalu jauh dari kamarnya, itu hanya berjarak beberapa meter. Daniel susah payah mengangkat tubuh, berusaha meraih kenop pintu. Namun sayang, sebelum sempat, panas itu kembali menjalar. Seolah membakar hingga ke tulang. Daniel menjadi lemas karenanya. Tubuh itu lalu jatuh kembali di daun pintu.

Persetan, Daniel sudah tidak tahan. Ia hanya akan berbaring hingga sakitnya mereda.

“Judith.” Gumamnya pelan.

Daniel tidak bodoh. Ia mengingat hampir seluruh perjalanan Natachai di dalam cerita.

Luka yang seperti cambuk ini, hanya satu penyebabnya.

Ya, tidak salah lagi. Di luar sana, Judith tengah bercinta dengan omega lain, selain dirinya.

Judith sudi bercinta dengan siapa pun,

Selain dirinya,

Asalkan bukan ia.

Badan Natachai tertelungkup. Telapaknya mengepal menahan sakit. Daniel menangis dalam senyap, membungkam suara meski derainya deras membasahi pipi. Perlahan, pandangannya mengabur.

Ia lelah dan mengantuk. Natachai, ingin tertidur. Tidak peduli dengan hari esok.

Sinar matahari pagi menyeruak melalui celah-celah jendela yang gordennya terbuka. Hangatnya menerpa permukaan wajah Natachai, membuat si teruna terusik. Perlahan ia mengerjap hingga netra kecokelatannya terbuka. Dahinya mengernyit, cahaya mentari itu berjejal memenuhi retina. Daniel berdeham. Tenggorokannya terasa gatal.

“Kau sudah bangun?” Ia mengerjap-ngerjap bingung. Phuwin datang dengan membawa nampan, lalu menaruhnya di atas nakas.

“Phuw — argh — ” Daniel mengaduh saat bahunya bergeser.

“Hati-hati punggungmu.” Phuwin membantunya terduduk. Menumpuk beberapa bantal untuk dijadikan sandaran. “Aku sudah susah payah menjagamu agar tetap tengkurap, tapi tidurmu memang berantakan. Aku tidak bisa membantu banyak.”

Daniel terkekeh mendengar gerutuan Phuwin. Sudah lama tak mendengar ia mengomel.

“Sejak kapan kau datang?” Daniel memecah keheningan yang sempat terjadi, “Dengan Pond, ya?” Ia berusaha bertanya dengan wajah yang sumringah.

Namun usaha itu terbaca sebagai kebohongan oleh Phuwin, “Chai…”

Daniel benci saat suasana menjadi sendu. Raut Phuwin yang manis tampak sedih, ia tidak mau kembali menangis karena jujur saja kepala Natachai terasa mau pecah akibat matanya yang membengkak.

“Jangan dibahas, ya, Phu.” Sergahnya cepat, “Kamu bawa teh chamomile, tidak?”

Phuwin menggeleng. Wajahnya tertunduk. Sejak dini hari tadi, saat ia bergegas dari rumah hingga akhirnya menemukan Natachai yang tergeletak di depan pintu kamar, Phuwin sudah berusaha menahan tangisnya. Kini ia tidak punya kekuatan untuk meladeni lakon Natachai. Hanya dengan membuka mulut, tangisnya bisa saja pecah.

“Phuwin,” Daniel meraih punggung tangan Phuwin yang terkepal, “Aku tidak apa-apa. Jangan menangis, ya?”

Phuwin mengangguk dengan cepat. Ia menyusut airmata yang baru saja menganak sungai. “Aku akan membuatkanmu teh,” ujarnya beranjak.

“Phu.” Sebelum langkahnya terhenti karena panggilan Daniel.

“Kamu … tahu darimana?”

Lelaki Juli itu menoleh, “Kalau aku bilang Pond yang membantu Judith mengkhianatimu semalam, apa … kau akan membenciku?”

Daniel tersenyum tipis, “Kenapa aku harus?” Namun senyum itu tidak sampai pada matanya.

“Pond pasti tidak punya kuasa membantah Judith,” tambahnya. “Jangan marah padanya, Phu.”

Tidak bisa. Phuwin tidak bisa tidak murka pada suaminya.

“Oh iya, Phu...” ucapan Daniel menggantung. Ia ragu bagaimana menanyakannya pada Phuwin.

“Apa … ibu dan ayah Judith tahu kondisiku?”

Phuwin menggeleng. “Entahlah. Saat aku datang kemari dengan Pond, kau sendirian sudah terbaring di depan pintu kamar. Aku rasa, jika tuan Edmund tahu, dia tidak akan membiarkanmu tidur di lantai.”

“Jangan beritahu siapa pun, ya, Phu.”

“Kenapa? Setidaknya, Judith harus mendapat hukuman.”

“Dia sudah. Luka ini, bukan hanya ada padaku, kan?”

“Tap — ”

“Aku tidak mau urusannya jadi panjang. Biarkan Judith menyelesaikan kekacauan pesta tempo hari saja.”

“Baiklah, jika itu maumu. Aku harus bilang apa saat menemui nyonya dan tuan Edmund nanti? Ini sudah waktunya sarapan.”

“Bilang saja aku tidak enak badan dan memanggilmu untuk menemaniku.”

Phuwin mengangguk lemah. Ia pergi di balik pintu. Memandang malas Pond yang ternyata sudah berada di baliknya

“Ayo pulang. Kamu belum istirahat sejak semalam.” Ajak Pond dengan lemah lembut.

Namun tatapan kesal Phuwin membuat hatinya mencelos. “Pulang saja sendiri!” jawabnya ketus.

“Phu, kamu belum sarapan.” Pond meraih jemarinya, tapi lalu Phuwin menghempas tangan itu dengan kasar.

“Kubilang pergi sana!” Nadanya sedikit meninggi. Pemuda Lernard itu bingung bagaimana cara meyakinkan Phuwin bahwa ia tidak punya kuasa membantah perintah Judith. Ini tidak seperti ia sukarela membantunya.

Pond membuang napasnya dalam. Setelah lelah melalui semalam suntuk, tadinya ia ingin pulang dengan senyuman di wajah manis suaminya. Nahas, alih-alih pelukan, yang ia dapat adalah wajah masam sang omega.

“Baiklah.” Pond merapikan beberapa helai rambut Phuwin yang sedikit kusut, “Jangan lupa makan, ya? Minta antarlah pada Luke saat kau pulang. Aku akan menunggu di rumah.”

Phuwin ingin menangis saat Pond pergi. Ia tahu betul jika lelaki itu tidak bersalah. Hanya saja Phuwin merasa marah dan tidak tau memproyeksikannya pada siapa. Phuwin merasa ini semua tidak adil, dan ia tidak tau kemana harus mengadu.

“Loh, Phuwin?” Suara lembut nyonya Edmund menyapa sembari menepuk pelan pundaknya.

“Ny-nyonya?”

“Kamu sedang apa disini?” tanyanya heran, “Oh, menemui Natachai, ya?” lalu menebak setelah melirik ke arah kamar.

Phuwin mengangguk, “Aku mendengar dari Pond kalau Natachai sedang tidak enak badan. Aku kemari untuk menjenguk.” Bohongnya. Sejujurnya Phuwin ingin berkata apa yang terjadi. Biar saja Judith kena marah seluruh anggota Elder. Namun, ia sudah berjanji pada Natachai.

“Astaga! Pantas saja Natachai tidak ke meja makan. Ya ampun kenapa aku tidak tahu dia sakit. Ah, ini semua pasti gara-gara hukuman bodoh itu. Sudah aku bilang itu ide yang konyol!” Ibu Judith menggerutu. Wajahnya menjadi panik. Ia lalu bergegas masuk ke dalam kamar.

Daniel terkesiap saat pintu dibuka dengan tergesa. Ia yang tengah tengkurap langsung bergegas membalikkan tubuh dan bersandar pada kepala ranjang. Ia meringis saat lukanya terkena permukaan kasur yang meski pun empuk, tetap terasa menyakitkan bagi luka cambuknya.

“Sayang, kamu sakit?” tangan halus itu menyentuh miliknya yang berkeringat.

“Ibu ambilkan makan, ya?” susulnya hendak beranjak namun pergerakan itu terhenti oleh Daniel.

“Ibu tidak usah repot. Aku belum lapar.”

“Bagaimana bisa? Akunyakin kau tidak makan seharian kemarin. Makanan yang dibawakan Nile bahkan masih utuh!”

Daniel tersenyum, tidak dapat mengelak untuk yang satu itu.

“Haish! Judith kemana sih.”

Daniel menatap Phuwin yang tangannya mengepal. Ia tahu jika lelaki itu ingin memaki Judith di hadapan ibunya. Natachai menggeleng, membuat Phuwin pada akhirnya memalingkan wajah.

“Ibu panggilkan tabib, ya?”

Daniel menggeleng keras, “Tidak perlu bu. Aku hanya sedikit tidak enak badan. Hanya perlu istirahat sebentar.”

“Ini pasti karena perintah bodoh itu!” makinya dengan suara yang masih terdengar lembut, “Coba lihat kakimu, sayangku.”

Nyonya Edmund menyingkap selimut yang menutupi tubuh Natachai. Melipat celana kain yang ia kenakan hingga memar di lututnya terlihat. “Kan lihat!” wanita itu meringis, “Harusnya kamu berdo’a sambil duduk saja!”

“Natachai tunggu sebentar ya. Ibu mau meminta herbal dulu.” Ibu Judith berperangai lembut. Daniel selalu suka senyum hangat yang sering terpatri pada wajah anggunnya.

“Phuwin, tolong ambilkan makan, ya.”

Rasanya sudah lama. Daniel … sudah lupa bagaimana raut wajah ibu ketika mengkhawatirkannya. Melihatnya kembali tergambar melalui sang ibu mertua, Daniel merasa penuh. Hatinya menghangat.

“Ibu.”

“Iya, sayang?”

“Terimakasih.”

Daniel tengah melamun di pinggir kolam. Setengah lututnya tercelup ke dalam air, membuat ikan-ikan koi berenang di bawah telapak kakinya, menelisik benda asing yang memasuki wilayah hidup mereka. Ia lalu terkejut saat beberapa ikan koi menyentuh permukaan kulit kakinya. Daniel tersenyum karena geli, lalu menabur beberapa pakan ikan dengan sembarang.

Ingatannya kembali pada hari pernikahan. Di kolam ini, ia berdo’a sebelum resepsi. Di halaman mansion ini pula pernikahannya diadakan. Ia mengingat bagaimana benang merah itu melilit kelingkingnya dengan kencang. Selaras dengan itu, Daniel juga mengingat bagaimana hangatnya lengan Judith melingkupi miliknya. Kehangatan yang ia damba.

Dua hari sudah batang hidung Judith tidak terlihat di mansion. Lelaki itu tidak pula pulang ke kamar mereka. Tidak tahu apa yang ia urus, Daniel menyangka kuat jika luka cambuk-lah penyebabnya.

Mungkin Judith canggung, atau bisa juga ia merasa bersalah, atau mungkin ia hanya takut Natachai buka mulut dan menyebabkan kesulitan lain untuknya.

Entahlah. Daniel tidak bisa menerka.

Daniel menerawang jauh. Ia memejamkan mata. Mengutuk Natachai berulang kali.

Bodoh. Ia memaki.

Natachai begitu bodoh dengan merindukan Judith.

Dan sialnya, perasaan itu juga sampai padanya.

Daniel tidak mengerti bagaimana bisa Natachai jatuh untuk seseorang seperti Judith. Ya, memang, sih, selama ini Judith tidak pernah secara gamblang menyakitinya. Lelaki itu masih menghormati Natachai dan menjaga batasan di antara mereka. Memang terkadang perlakuannya sedikit ambigu, Daniel bahkan sesekali merasa jika Judith memperdulikannya. Tapi mungkin itu hanya empati dasar antar manusia. Selebihnya, Judith adalah tanda bahaya yang berjalan. Natachai tidak mungkin, kan, melabuhkan hati untuk pria yang bahkan masih hidup dengan cinta di masa lalunya?

“Bodoh.” Rutuknya. Memaki rindu yang diam-diam menumpuk untuk Judith.

“Natachai bodoh!”

Daniel terkesiap saat seseorang tiba-tiba saja menahan tangannya.

“Ikannya bisa mati kekenyangan.” Itu Nile.

Daniel rupa-rupanya sudah menghabiskan pakan ikan hampir satu bungkus penuh.

“Nile.”

“Sedang apa?”

“Tidak ada. Hanya … berdiam diri, kau tahu.”

Nile mengangguk. Canggung begitu terasa menghinggapi keduanya. Nile ikut mendudukkan diri di tepi kolam. Tangannya menciprat-ciprat air ke arah depan.

“Kamu sudah baik? Aku dengar kamu sakit.”

Daniel mengangguk. Tangannya terkepal. Amarah tiba-tiba saja mencapai ubun-ubun.

“Kamu sendiri bagaimana?” keduanya menoleh, saling berpandangan. “Apa pinggangmu masih sakit?”

Nile menelan salivanya susah payah. Netra seperti rubah milik Natachai memaku hingga ia tidak bisa lari kemana pun. Pandangannya mengintimidasi. Seolah menelanjangi Nile hanya dengan tatapan yang tajam itu.

“M-maksudmu?”

Danie meremat batu di pinggiran kolam. Memohon agar diberi kekuatan untuk sekedar menanyakan kebenaran.

“Nile…”

Kasturi dengan sedikit cendana ini,

Tidak salah lagi, itu … feromon milik Judith. Suaminya.

“Itu kau, kan?”

To be continued..

Unlisted

--

--